Selasa, 04 Maret 2014

Mental Training



A. Pembinaan Mental (Mental Training)
1. Batasan
Drever (1971) mendefinisikan mind atau mental sebagai keseluruhan struktur dan proses baik yang disadari maupun tidak, dan merupakan bagian dalam psike yang terorganisir. Nideffer menyebut mental training sebagai mental rehearsal, suatu proses perlakuan dimana akhirnya atlet dapat mengubah sikap mentalnya, memotivasi diri sendiri, lebih cepat mempelajari ketrampilan baru serta dapat meningkatkan seluruh kemampuannya dalam berbagai situasi pertandingan.
Krueger dalam Olympic Scientific Congress 1988 di Seoul mengemukakan bahwa kesegaran jasmani mensyaratkan pengetahuan dan penerapan pendekatan sistem. Pendekatan holistik/menyeluruh harus digunakan dalam mempelajari mental dan fisik. Diantaranya ditinjau dari:
1. segi fisik
makanan dan gizi memberi umpan kepada badan, mental dan spirit. Latihan kesegaran jasmani dapat mempengaruhi mental dan membersihkan pikiran yang mengganggu
2. segi mental
latihan mental untuk meningkatkan fungsi fisik dan psikik, dan memberi kemungkinan timbulnya kekuatan batin, termasuk visualisasi, mengontrol pernafasan, teknik konsentrasi dan mengatur pikiran
3. segi metafisik
dapat memotivasi kekuatan terpendam, termasuk cara meningkatkan kekuatan batin melalui meditasi, do’a, perenungan, berpikir benar, bertindak benar, dan sebagainya
Melnikov dalam Olympic Scientific Congress 1988 mengklasifikasikan problem pokok psychological training:
1. psiko-fisiologi
2. psikologi sosial
3. psikologi kepribadian
(di samping juga psikologi pendidikan, psikologi perkembangan, psikotes dan sebagainya).
Unestahl membedakan pengertian antara mental conditioning dan mental training/mental strength training:
1. mental conditioning: usaha menjaga keadaan mental atlet dalam keadaan tertentu menunjukkan kemampuan untuk dapat menanggung beban mental yang seharusnya atlit tersebut memang dapat menanggungnya (dalam berbagai situasi pertandingan)
2. mental training/mental strength training: upaya untuk meningkatkan kemampuan dan ketahanan mental atlit, yang mengandung kesanggupan untuk mengembangkan kemampuan dalam keadaan bagaimanapun juga, menghadapi hambatan dari dalam diri maupun luar di saat pertandingan.
Di samping mental strength training, Unestahl mengemukakan perlunya “the inner mental preparation”, semacam teknik meditasi yang juga sering disebut “trancendental meditation” untuk dapat mengembangkan kekuatan-kekuatan yang terdalam (tenaga dalam) atlet. Di Tae Nung Training Centre (Korea), mental training dilengkapi dengan teknik meditasi (kepercayaan dan agama). Sedangkan tentang peran mental training, Unestahl (1988) mengatakan:
Mental training merupakan latihan jangka panjang dan sistematis untuk berkembang dan belajar mengendalikan: 1) tingkah laku 2) penampilan 3) emosi dan mood-states (suasana hati) 4) proses-proses badaniah”
Setiap atlet selalu menghadapi situasi psikologis “harapan untuk sukses” dan “ketakutan akan gagal”; melalui mental training akibat-akibat negatif relatif lebih mudah diatasi. Kemungkinan terjadi Zeigarnik Effect (Heinz Heckhaussen), yakni seorang atlit yang mudah teringat hal-hal yang tak dapat diselesaikan dengan baik (kekalahan atau kegagalan) juga merupakan masalah yang mendorong perlunya mental training. Masalah lain mental training: kecemasan (anxiety) baik itu competitive trait anxiety (CTA), mapun yang dihadapi yunior.
Untuk dapat lebih memahami gejala sosial psikologik dalam proses pembinaan atau pendidikan, Bany dan Johnson (1975) mengembangkan cabang ilmu Educational Social Psykology untuk menjawab permasalahan pembinaan/pendidikan.

2. Mengapa Atlet Elit Perlu Latihan Mental?

Yang dimaksud dengan atlet elit dalam tulisan ini adalah atlet setaraf atlet nasional yang telah memiliki prestasi dalam olahraga yang ditekuninya. Untuk dapat meningkatkan prestasi atau performa olahraganya, sang atlet perlu memiliki mental yang tangguh, sehingga ia dapat berlatih dan bertanding dengan semangat tinggi, dedikasi total, pantang menyerah, tidak mudah terganggu oleh masalah-masalah non-teknis atau masalah pribadi. Dengan demikian ia dapat menjalankan program latihannya dengan sungguh-sungguh, sehingga ia dapat memiliki fisik prima, teknik tinggi dan strategi bertanding yang tepat, sesuai dengan program latihan yang dirancang oleh pelatihnya. Dengan demikian terlihatlah bahwa latihan mental bertujuan agar atlet dapat mencapai prestasi puncak, atau prestasi yang lebih baik dari sebelumnya.
Untuk dapat memiliki mental yang tangguh tersebut, atlet perlu melakukan latihan mental yang sistimatis, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari program latihan olahraga secara umum, dan tertuang dalam perencanaan latihan tahunan atau periodesasi latihan.
Seringkali dijumpai, bahwa masalah mental atlet sesungguhnya bukan murni merupakan masalah psikologis, namun disebabkan oleh faktor teknis atau fisiologis. Contohnya: jika kemampuan atlet menurun karena faktor kesalahan teknik gerakan, maka persepsi sang atlet terhadap kemampuan dirinya juga akan berkurang. Jika masalah kesalahan gerak ini tidak segera teridentifikasi dan tidak segera diperbaiki, maka kesalahan gerak ini akan menetap. Akibatnya, kemampuan atlet tidak meningkat, sehingga atlet menjadi kecewa dan lama kelamaan bisa menjadi frustrasi bahkan memiliki pikiran dan sikap negatif terhadap prestasi olahraganya.
Demikian juga dengan masalah yang disebabkan oleh faktor fisik. Masalah yang seringkali terjadi adalah masalah “overtrained” atau kelelahan yang berlebihan, sehingga menimbulkan perubahan penampilan atlet yang misalnya menjadi lebih lambat, sehingga atlet tersebut kemudian di’cap’ sebagai atlet yang memiliki motivasi rendah.
Kedua contoh tersebut menunjukkan bahwa masalah mental tidak selalu disebabkan oleh faktor mental atau faktor psikologis. Jika penyebab masalahnya tidak terlebih dahulu diatasi, maka masalah mentalnya juga akan sulit untukdapat diperbaiki. Dengan demikian, jika akan menerapkan latihan mental untuk mengatasi masalah mental psikologis, maka atlet, pelatih maupun psikolog olahraga harus pasti bahwa penyebab masalahnya adalah masalah mental.



3. Apakah yang diperlukan atlet untuk menjalani latihan mental?

Adanya perubahan tingkah laku, perasaan atau pikiran atlet yang mengganggu si atlet itu sendiri atau mengganggu kelancaran pelatihan atau komunikasi antara atlet dengan orang lain, merupakan salah satu indikasi bahwa atlet tersebut mengalami disfungsi atau masalah psikologis. Namun, sebelum memastikan bahwa masalah tersebut disebabkan oleh faktor psikologis, perlu secara cermat dianalisis kemungkinan adanya penyebab faktor teknis atau fisiologis. Jika penyebab utamanya ternyata adalah faktor teknis atau fisik, maka faktor-faktor tersebutlah yang perlu dibenahi terlebih dahulu. Masalah mental psikologisnya akan sulit teratasi jika penyebab utamanya tidak ditangani.
Setelah dipastikan bahwa seorang atlet mengalami masalah mental psikologis, atau perlu meningkatkan keterampilan psikologisnya, maka kepada atlet tersebut dapat diterapkan latihan mental. Ada tiga karakteristik yang sebaiknya terdapat pada diri atlet yang akan menjalani latihan mental, yaitu:
a. Si atlet harus mau menjalani latihan mental tersebut. Jika suatu tugas dihadapi dengan sikap positif, maka potensi keberhasilannya akan semakin nyata. Sebaliknya, jika si atlet malas melakukan latihannya, maka kegagalan akan menghadang. Oleh karena itu, si atlet sendiri yang harus memutuskan bahwa ia mau menjalani setiap program latihan sampai selesai, dan harus yakin bahwa latihan tersebut akan membawa manfaat bagi kemajuan prestasinya. Tanpa adanya komitmen tersebut, atau jika atlet merasa terpaksa dalam menjalankan latihannya, maka manfaat dari hasil latihan yang dijalaninya akan sirna.
b. Atlet harus menjalankan setiap program latihan secara utuh. Keuntungan atau manfaat dari latihan mental hanya akan terasa jika atlet menjalankan seluruh program latihan secara utuh, tidak sepotong-sepotong. Serupa dengan latihan keterampilan fisik, maka proses latihan mental pun harus dilakukan berulang-ulang; karena itu ia memerlukan waktu, usaha, maupun umpan balik dari kemajuan suatu latihan.
c. Si atlet harus memiliki kemauan untuk menjalani latihan dengan sempurna, sebaik mungkin. Setiap program latihan mental telah dirancang secara terstruktur sehingga seluruh kegiatannya memiliki fungsi dan manfaat masing-masing. Termasuk seluruh penugasan dan evaluasi atau penilaian diri yang harus dilakukan oleh si atlet, merupakan bagian dari program latihan mental yang tidak boleh diabaikan. Latihan mental merupakan suatu prosesyang harus dijalani sesuai prosedur, karena itu tidak ada jalan pintas untuk mencapai prestasi dalam olahraga.

4. Teknik-Teknik Mental Training

Strategi pembinaan mental agar tidak gugup atau cemas, dan semacamnya saat pertandingan, menurut Weinberg (1984):
1. Attentional focus atau concentration
2. Self-efficacy statement
3. Relaxation
4. Imagery
5. Preparatory Arousal
Relaxation: “I just tried to relax all of my muscles and think about something else”.
Secara fisik, emosional dan mental, relaksasi ditandai dengan tidak adanya aktivitas dan ketegangan (tension), suatu suasana penuh ketenangan apabila dapat dijauhkan segala perasaan yang berhubungan kebutuhan hidup sehari-hari. Ini bisa dengan tidur terlentang, duduk bersandar dan lainnya sesuai sifat kepribadian individu, biasanya sekitar 5-15 menit.
Mental Imagery: “I picture my self in perfect balance”.
Bagi Terry Orlick, visualisasi mental ini merupakan semi simulasi, terjadi dalam otak. Mental Imagery dapat meningkatkan kemampuan individu dalam menghadapi berbagai permasalahan; atlit lebih siap dengan gerakan sulit, karena sebelumnya sudah divisualisasikan dalam pikiran. Atlit dapat melihat, merasakan, melakukan gerakan dan keterampilan tertentu secara benar. Ini akan memantapkan pola penampilan atlit. Menurut Syer dan Conolly, dalam visualisasi, atlit akan terbuai (terbawa) dalam suasana tertentu.
Concentration: “I just tried to concentrate on the task and eliminate all irrelevant information”.
Konsentrasi adalah keadaan dimana atlit menunjukkan memiliki kesadaran tertuju kepada sesuatu obyek tertentu yang tidak mudah goyah. Eugene F. Gauron (1984) mengemukakan ciri-ciri konsentrasi:
1. tertuju pada satu benda pada satu saat
2. merupakan keseluruhan
3. perhatian selektif terhadap pemikiran atau obyek tertentu dan tidak adanya perhatian terhadap yang lain
4. menenangkan dan memperkuat mental.
Aspek-aspek kecakapan mental psikologis (psychological skills) yang bisa dilatih, mencakup banyak hal meliputi aspek-aspek pengelolaan emosi, pengembangan diri, peningkatan daya konsentrasi, penetapan sasaran, persiapan menghadapi pertandingan, dan sebagainya. Bentuk latihan kecakapan mental yang paling umum dilakukan oleh atlet elit adalah:
a. Berfikir positif. Berfikir positif dimaksudkan sebagai cara berfikir yang mengarahkan sesuatu ke arah yang positif, melihat segi baiknya. Hal ini perlu dibiasakan bukan saja oleh atlet, tetapi terlebih-lebih bagi pelatih yang melatihnya. Dengan membiasakan diri berfikir positif dapat menumbuhkan rasa percaya diri, meningkatkan motivasi dan menjalin kerjasama antara berbagai pihak. Pikiran positif akan diikuti dengan tindakan dan perkataan positif pula, karena pikiran akan menuntun tindakan.
b. Membuat catatan harian latihan mental (mental log). Catatan latihan mental merupakan catatan harian yang ditulis setiap atlet selesai melakukan latihan, pertandingan, atau acara lain yang berkaitan dengan olahraganya. Dalam buku catatan latihan mental ini dapat dituliskan pikiran, bayangan, ketakutan, emosi, dan hal-hal lain yang dianggap penting dan relevan oleh atlet. Catatan ini semestinya dapat menceritakan bagaimana atlet berfikir, bertindak, bereaksi, juga merupakan tempat untuk mencurahkan kemarahan, frustrasi, kecewa, dan segala perasaan negatif jika melakukan kegagalan atau tampil buruk. Dengan melakukan perubahan pola pikir akan hal-hal negatif tadi menjadi positif, atlet dapat menggunakan catatan latihan mentalnya sebagai “langkah baru” — setelah anda mengalami frustrasi, keraguan, ketakutan, ataupun perasaan berdosa/bersalah – untuk kembali membangun sikap mental yang positif dan penuh percaya diri.
c. Penetapan sasaran (goal-setting). Penetapan sasaran (goal-setting) perlu dilakukan agar atlet memiliki arah yang harus dituju. Sasaran tersebut bukan melulu berupa hasil akhir (output) dari mengikuti suatu kejuaraan. Penetapan sasaran ini sedapat mungkin harus bisa diukur agar dapat melihat perkembangan dari pencapaian sasaran yang ditetapkan. Selain itu pencapaian sasaran ini perlu ditetapkan sedemikian rupa secara bersama-sama antara atlet dan pelatih. Sasaran tersebut tidak boleh terlalu mudah, namun sekaligus bukan sesuatu yang mustahil dapat tercapai. Jadi, sasaran tersebut harus dapat memberikan tantangan bahwa jika atlet bekerja keras maka sasaran tersebut dapat tercapai. Dengan demikian penetapan sasaran ini sekaligus dapat pula berfungsi sebagai pembangkit motivasi.
d. Latihan relaksasi. Tujuan daripada latihan relaksasi, termasuk pula latihan manajemen stres, adalah untuk mengendalikan ketegangan, baik itu ketegangan otot maupun ketegangan psikologis. Ada berbagai macam bentuk latihan relaksasi, namun yang paling mendasar adalah latihan relaksasi otot secara progresif. Tujuan daripada latihan ini adalah agar atlet dapat mengenali dan membedakan keadaan rileks dan tegang. Biasanya latihan relaksasi ini baru terasa hasilnya setelah dilakukan setiap hari selama minimal enam minggu (setiap kali latihan selama sekitar 20 menit). Sekali latihan ini dikuasai, maka semakin singkat waktu yang diperlukan untuk bisa mencapai keadaan rileks. Bentuk daripada latihan relaksasi lainnya adalah “autogenic training” dan berbagai latihan pernapasan. Latihan relaksasi ini juga menjadi dasar latihan pengendalian emosi dan kecemasan. Latihan relaksasi dapat pula dilakukan dengan bantuan alat seperti “galvanic skin response”, “floatation tank”, dan juga berbagai paket rekaman kaset latihan relaksasi yang mulai banyak beredar di pasaran.
e. Latihan visualisasi dan imajeri. Latihan imajeri (mental imagery) merupakan suatu bentuk latihan mental yang berupa pembayangan diri dan gerakan di dalam pikiran. Manfaat daripada latihan imajeri, antara lain adalah untuk mempelajari atau mengulang gerakan baru; memperbaiki suatu gerakan yang salah atau belum sempurna; latihan simulasi dalam pikiran; latihan bagi atlet yang sedang rehabilitasi cedera. Latihan imajeri ini seringkali disamakan dengan latihan visualisasi karena sama-sama melakukan pembayangan gerakan di dalam pikiran. Namun, di dalam imajeri si atlet bukan hanya ‘melihat’ gerakan dirinya namun juga memberfungsikan indera pendengaran, perabaan, penciuman dan pengecapan. Untuk dapat menguasai latihan imajeri, seorang atlet harus mahir dulu dalam melakukan latihan relaksasi.
f. Latihan konsentrasi. Konsentrasi merupakan suatu keadaan dimana kesadaran seseorang tertuju kepada suatu obyek tertentu dalam waktu tertentu. Dalam olahraga, masalah yang paling sering timbul akibat terganggunya konsentrasi adalah berkurangnya akurasi lemparan, pukulan, tendangan, atau tembakan sehingga tidak mengenai sasaran. Akibat lebih lanjut jika akurasi berkurang adalah strategi yang sudah dipersiapkan menjadi tidak jalan sehingga atlet akhirnya kebingungan, tidak tahu harus bermain bagaimana dan pasti kepercayaan dirinya pun akan berkurang. Selain itu, hilangnya konsentrasi saat melakukan aktivitas olahraga dapat pula menyebabkan terjadinya cedera. Tujuan daripada latihan konsentrasi adalah agar si atlet dapat memusatkan perhatian atau pikirannya terhadap sesuatu yang ia lakukan tanpa terpengaruh oleh pikiran atau hal-hal lain yang terjadi di sekitarnya. Pemusatan perhatian tersebut juga harus dapat berlangsung dalam waktu yang dibutuhkan. Agar didapatkan hasil yang maksimal, latihan konsentrasi ini biasanya baru dilakukan jika si atlet sudah menguasai latihan relaksasi. Salah satu bentuk latihan konsentrasi adalah dengan memfokuskan perhatian kepada suatu benda tertentu (misalnya: nyala lilin; jarum detik; bola atau alat yang digunakan dalam olahraganya). Lakukan selama mungkin dalam posisi meditasi.
5. Visualisasi
Meskipun sudah dibahas di atas, namun latihan untuk visualisasi diperdalam dibagian ini untuk meberikan wawasan contoh model pelatihan mental. Visualisasi adalah latihan jangka panjang yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan untuk membentuk dan mengembangkan keterampilan mental tertentu (Maksum, 2007:63). Untuk dapat meningkatkan prestasi atau performa olahraganya, sang atlet perlu memiliki mental yang tangguh, sehingga atlet dapat berlatih dan bertanding dengan semangat tinggi, dedikasi total, pantang menyerah, tidak mudah terganggu oleh masalah-masalah non-teknis atau masalah pribadi. Dengan demikian atlet dapat menjalankan program latihannya dengan sungguh-sungguh, sehingga dapat memiliki fisik prima, teknik tinggi dan strategi bertanding yang tepat, sesuai dengan program latihan yang di rancang oleh pelatihnya. Terlihat bahwa latihan mental bertujuan agar atlet dapat mencapai prestasi puncak, atau prestasi yang lebih baik dari sebelumnya.
Untuk dapat memiliki mental yang tangguh tersebut, atlet perlu melakukan latihan mental yang sistimatis, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari program latihan olahraga secara umum, dan tertuang dalam perencanaan latihan tahunan atau periodesasi latihan.
Seringkali masalah mental atlet sesungguhnya bukan murni merupakan masalah psikologis, namun disebabkan oleh faktor teknis atau fisiologis. Contohnya: jika kemampuan atlet menurun karena faktor kesalahan teknik gerakan, maka persepsi sang atlet terhadap kemampuan dirinya juga akan berkurang. Jika masalah kesalahan gerak ini tidak segera teridentifikasi dan tidak segera diperbaiki, maka kesalahan gerak ini akan menetap. Akibatnya, kemampuan atlet tidak meningkat, sehingga atlet menjadi kecewa dan lama kelamaan bisa menjadi frustrasi bahkan memiliki pikiran dan sikap negatif terhadap prestasi olahraganya.
Setelah dipastikan bahwa seorang atlet mengalami masalah mental psikologis, atau perlu meningkatkan keterampilan psikologisnya, maka kepada atlet tersebut dapat diterapkan latihan mental. Menurut Yuanita Nasution (2007) ada tiga karakteristik yang sebaiknya terdapat pada diri atlet yang akan menjalani latihan mental yaitu
1. Atlet tersebut menjalani latihan mental. Karena apabila suatu tugas
dihadapi dengan sikap positif, maka potensi keberhasilannya akan semakin nyata. Sebaliknya, jika atlet malas melakukan latihan, dapat menybabkan kegagalan. Oleh karena itu, atlet sendiri yang harus memutuskan bahwa atlet tersebut menjalani setiap program latihan sampai selesai, dan yakin bahwa latihan tersebut akan membawa manfaat bagi kemajuan prestasinya. Tanpa adanya komitmen tersebut, atau jika atlet merasa terpaksa dalam menjalankan latihan, maka manfaat dari hasil latihan yang dijalaninya akan sirna.
2. Atlet harus menjalankan setiap program latihan secara utuh. Keuntungan
atau manfaat dari latihan mental hanya akan terasa jika atlet menjalankan seluruh program latihan secara utuh, tidak sepotong-sepotong. Serupa dengan latihan keterampilan fisik, maka proses latihan mental pun harus dilakukan berulang-ulang karena atlet memerlukan waktu, usaha, maupun umpan balik dari kemajuan suatu latihan.
3. Atlet harus memiliki kemauan untuk menjalani latihan dengan sempurna, sebaik mungkin. Setiap program latihan mental telah di rancang secara terstruktur sehingga seluruh kegiatannya memiliki fungsi dan manfaat masing-masing. Termasuk seluruh penugasan dan evaluasi atau penilaian diri yang harus dilakukan oleh atlet, merupakan bagian dari program latihan mental yang tidak boleh diabaikan. Latihan mental merupakan suatu proses yang harus dijalani sesuai prosedur karena itu tidak ada jalan pintas untuk mencapai prestasi olahraga
Menurut Weinberg dan Gould (dalam Satiadarma, 2000:191) menjelaskan bahwa dengan mengembangkan kemampuan imagery (keterampilan psikologis), kondisi fisik dan psikis seseorang akan menjadi lebih baik, hal ini disebabkan karena adanya dampak :
a. Meningkatkan konsentrasi
b. Meningkatkan rasa percaya diri
c. Mengendalikan responsi emosional
d. Memperbaiki latihan keterampilan
e. Mengembangkan strategi
f. Mengatasi rasa sakit
Aspek-aspek kecakapan mental psikologis (psychological skills) yang bisa dilatih, mencakup banyak hal meliputi aspek-aspek pengelolaan emosi, pengembangan diri, peningkatan daya konsentrasi, penetapan sasaran, persiapan menghadapi pertandingan, dan sebagainya. Yuanita Nasution (2007) mengungkapkan Bentuk latihan kecakapan mental yang paling umum dilakukan oleh atlet adalah:
1. Berfikir positf
Berfikir positif dimaksudkan sebagai cara berfikir yang mengarahkan sesuatu ke arah yang positif semisal melihat sisi baiknya.
2. Membuat catatan harian latihan mental (mental log)
Catatan latihan mental merupakan catatan harian yang di tulis setiap atlet selesai melakukan latihan, pertandingan, atau acara lain yang berkaitan dengan olahraganya. Dalam buku catatan latihan mental ini dapat dituliskan pikiran, bayangan, ketakutan, emosi, dan hal-hal lain yang dianggap penting dan relevan oleh atlet.
3. Penetapan sasaran (goal setting)
Penetapan sasaran (goal-setting) perlu dilakukan agar atlet memiliki arah yang harus di tuju. Sasaran tersebut bukan melulu berupa hasil akhir (output) dari mengikuti suatu kejuaraan. Penetapan sasaran ini sedapat mungkin harus bisa di ukur agar dapat melihat perkembangan dari pencapaian sasaran yang ditetapkan.
4. Latihan relaksasi
Tujuan daripada latihan relaksasi, termasuk pula latihan manajemen stres, adalah untuk mengendalikan ketegangan, baik itu ketegangan otot maupun ketegangan psikologis contohnya latihan pernafasan.
5. Latihan visualisasi dan imageri (mental imagery)
Merupakan suatu bentuk latihan mental yang berupa pembayangan diri dan
gerakan di dalam pikiran. Manfaat daripada latihan imajeri, antara lain adalah
untuk mempelajari atau mengulang gerakan baru; memperbaiki suatu
gerakan yang salah atau belum sempurna; latihan simulasi dalam pikiran, latihan bagi atlet yang sedang rehabilitasi cedera.
6. Latihan konsentrasi
Tujuan daripada latihan konsentrasi adalah agar atlet dapat memusatkan perhatian atau pikirannya terhadap sesuatu yang di lakukan tanpa terpengaruh oleh pikiran atau hal-hal lain yang terjadi di sekitarnya. Pemusatan perhatian tersebut juga harus dapat berlangsung dalam waktu yang dibutuhkan. Agar mendapatkan hasil yang maksimal, latihan konsentrasi ini biasanya baru dilakukan jika atlet sudah menguasai latihan relaksasi. Salah satu bentuk latihan konsentrasi adalah dengan memfokuskan perhatian kepada suatu benda tertentu (misalnya : nyala lilin; jarum detik, bola atau alat yang digunakan dalam olahraganya)
Latihan mental dilakukan hampir setiap saat, di rumah, menjelang dan sesudah latihan, selama masa jedah (time-out) (Weinberg dan Gould dalam Satiadarma, 2000:195) atau pada saat istirahat, pada masa pemulihan atau rehabilitasi (Leleva dan Orlick dalam Satiadarma, 2000:195). Pada periode latihan maupun pertandingan, baik sebelum maupun sesudahnya, latihan imagery dapat dilakukan selama lebih kurang 10 menit, pada sejumlah atlet dapat melakukan latihan imagery dalam waktu yang relatif lebih lama namun bagi sejumlah atlet pemula jangka waktu latihan melebihi 10 menit cenderung mengganggu konsentrasi atlet pemula tersebut (Weinberg dan Gould dalam Satiadarma, 2000:195).


5. Kapan sebaiknya atlet melakukan latihan mental?

Latihan mental dilakukan sepanjang atlet menjalani latihan olahraga, karena seharusnya latihan mental merupakan bagian tidak terpisahkan dari program latihan tahunan atau periodesasi latihan. Latihan-latihan tersebut ada yang memerlukan waktu khusus (terutama saat-saat pertama mempelajari latihan relaksasi dan konsentrasi), namun pada umumnya tidak terikat oleh waktu sehingga dapat dilakukan kapan saja.
Demikian sekilas uraian mengenai latihan mental bagi atlet elit, dengan harapan para atlet, pelatih maupun pembina olahraga semakin menyadari bahwa latihan mental sangat diperlukan untuk mendapatkan prestasi puncak, dan untuk melakukan latihan mental tersebut diperlukan proses dan alokasi waktu tersendiri. Selamat berlatih, semoga sukses mencapai prestasi puncak.
Pembinaan mental, bagaimanapun, dipersiapkan bagi prestasi dan performance atlit, sehingga kemauan dan pola pikir atlit amat menentukan.
6. Kompetisi dan Ketahanan Mental

Begitu besarnya motivasi dan semangat hingga level permainan atlet/tim, secara tak sadar, performa juga mengalami peningkatan yang luar biasa. Hal itu adalah bukti, bahwa kondisi mental sangat berpengaruh terhadap kemampuan atletis seseorang. Didukung dengan mental yang tangguh, maka kemampuan fisik dan keunggulan teknik permainan akan menjadi sebuah sinergi yang akan menghasilkan kemampuan dan penampilan yang luar biasa.
Membangun mental pemain sebenarnya tidak berbeda dengan membentuk pemain yang berteknik dan berfisik prima. Artinya mental harus dibangun dengan proses panjang dan berjenjang. Pemain sepakbola kelas dunia semacam Zidane, Beckham, Ronaldo, Messi dll. adalah akibat dari sebuah proses panjang dan berkelanjutan. Mereka menjalani sebuah perjalanan yang disebut latihan dengan baik.
Menurut Van Lingen, Direktur Teknis KNVB (persatuan sepakbola Belanda) ada 3 unsur yang harus selalu dihadirkan oleh seorang pelatih dalam membangun pemain-pemain berkualitas. Ketiga unsur itu biasa disebut dengan TIC, yakni Technic, Insight, dan Communication. Sebuah latihan harus ditekankan untuk melatih teknik bermain dari para pemain, khususnya para pemain usia muda. Insight adalah pemahaman para pemain dalam permainan sepakbola. Bahwa sepakbola adalah sebuah permainan dimana lawan akan selalu berusaha merebut bola dan mencetak gol ke gawang kita. Sepakbola juga merupakan permainan tim yang terdiri dari 11 orang. Untuk itu pemain harus diberi pemahaman bahwa yang harus dilakukan adalah bekerja sama untuk menahan lawan mencetak gol serta bekerja sama untuk mencetak gol ke gawang lawan. Yang ketiga adalah Communication. Kerjasama antarpemain dilapangan harus didasari oleh pola komunikasi yang terjalin antarpemain. Tanpa adanya komunikasi, maka pemain akan saling menyalahkan dan akhirnya tidak terjadi kerjasama. Ketiga proses tersebut merupakan terjemahan langsung dari proses pembangunan pemain dari sisi Teknik bermain, fisik serta mental.
Untuk mendapatkan kemampuan aplikasi latihan dalam sebuah pertandingan, mau tidak mau para pemain harus terjun langsung dan mengalami sendiri sebuah pertandingan. Hal ini berarti para pemain harus lebih sering bertanding dalam situasi kompetisi yang ketat. Dengan kompetisi yang ketat dimana lawan langsung hadir, maka para pemain akan dipaksa untuk berpikir cepat untuk bisa mengatasi tekanan lawan. Dengan semakin sering seorang pemain berpikir cepat dan mengambil keputusan, maka secara tidak langsung mental bertanding pun ikut diasah, terlepas dari hasil pertandingan.
Para pelatih usia muda juga hendaknya berperan sebagai seorang konselor yang secara detil memahami kondisi pemainnya. Jika dalam sebuah turnamen, para pemain melakukan banyak kesalahan, maka pelatih harus dengan bijak membaca kelemahan-kelemahan itu dan mengomunikasikannya kepada para pemainnya. Pelatih tidak berhak langsung menjatuhkan vonis atas kesalahan yang dilakukan oleh para pemainnya. Tapi masukan yang membangunlah yang seharusnya dilakukan.
Dalam sebuah pertandingan yang kompetitif, kemampuan asli para pemain akan langsung terlihat. Hal ini akan memudahkan para pelatih untuk membuat evaluasi atas pemainnya yang selanjutnya membenahi kekuarangan-kekurangan yang ada. Evaluasi ini harus diterapkan dalam bentuk format latihan yang mengidentifikasi kondisi asli pertandingan. Dalam bahasa teknis disebut dengan small sided games.
Dengan seringnya para pemain melakoni pertandingan yang kompetitif, maka para pemain pun sebetulnya dengan dalam proses learning by doing, atau trial error. Berbagai tekanan dengan segera harus dihadapi dan dipecahkan oleh para pemain. Tekanan-tekanan inilah yang akan menjadi stimulus bagi para pemain.
Secara psikologis, para pemain akan belajar dari pengalaman. Seperti teori stimulus-respon yang dikemukakan oleh Skinner, para pemain yang mendapati stimulus akan berusaha merespon dengan perilaku tertentu. Ditambah dengan penguat dari pelatih, maka respon yang diperoleh diharapkan berupa respon-respon yang positif atas stimulus tersebut.
Sudah waktunya Indonesia mempunyai sistem pembinaan pemain yang berjenjang dengan basis kompetisi yang teratur. Sekali lagi, kompetisi akan mematangkan dan menyelesaikan tugas belajar yang dimiliki oleh pemain di masing-masing kelompok umur. Jika dalam satu kelompok umur para pemain berhasil menyelesaikan tugas belajarnya, maka fase selanjutnya akan lebih mudah di jalani. Menurut FIFA, setiap tahun, para pemain muda sepakbola sebaiknya menjalani 30 kali pertandingan. Hal ini di dasarkan atas kemampuan seorang anak dalam mencari solusi atas tekanan permainan yang dihadapi.
Sekali lagi, kompetisi merupakan salah satu ujung tombak dalam membangun mental pemain dan tentu saja membentuk bibit-bibit pemain yang berkualitas. Tanpa kompetisi yang teratur, niscaya mental pemain hanya akan berada pada level angin-anginan. Artinya kadang meningkat, tapi tidak jarang dalam level bawah.
7. Kemenangan Mental!

Dalam permainan sepakbola, unsur teknik maupun fisik saja tidaklah cukup. Ada satu elemen lagi yang tidak kalah pentingnya, yakni: Mental. Fisik akan menjamin pemain mampu menjalani permainan selama 90 menit, ditambah kemampuan teknis yang memadai, akan menghasilkan sebuah permainan yang bagus. Namun, hal itu tidak akan terjadi seandainya para pemain berada dalam tekanan, stress, dan kurang motivasi.
Kondisi mental sangat menentukan kemampuan fisik sesesorang. Jika mental terganggu secara otomatis kemampuan gerak seseorang juga pasti terganggu. Otot terasa kaku, muncul keringat dingin, sakit perut, atau bahkan mual-mual adalah beberapa ciri pemain sedang mengalami stress. Jika terjadi kondisi seperti ini maka bisa dipastikan kemampuan teknis, fisik yang prima akan sirna begitu saja. Sebaliknya, jika kondisi mental dalam kondisi puncak, maka kekurangan-kekurangan itu seolah tertutupi dengan munculnya energi tambahan dari ketidaksadaran manusia. Energi mental merangsang hormon-hormon tubuh untuk bergerak lebih cepat. Kondisi di atas layaknya ketika seseorang melihat hantu. Secepat kilat orang bisa lari dengan tenaga yang luar biasa besarnya.
Tapi perlu diingat, kondisi mental seorang pemain juga harus dikelola dengan baik jangan sampai seorang pemain tidak mengukur kemampuannya dan hanya didorong oleh keinginan-keinginan tertentu. Jangan sampai pemain yang mempunyai semangat berlebih justru menjadi bumerang dalam sebuah permainan. Jangan sampai para pemain kehilangan kontrol atas emosinya. Karena orang yang bersemangat dan termotivasi rentan terhadap provokasi.
Disinilah letak peran seorang psikolog olahraga. Psikolog olahraga berperan untuk membantu menyalurkan motivasi dan semangat besar para pemain Indonesia agar bisa lebih menguntungkan. Peran psikolog adalah menjaga agar para pemain tetap dalam kondisi puncak sampai saat yang diperlukan. Pelatih harus berkonsultasi dengan psikolog supaya diperoleh formula yang tepat untuk mempertahankan pemain dalam peak performance-nya.
Sekali lagi, kondisi mental tidak bisa dilepaskan dari 2 elemen yang lain dalam sepakbola. Ketika teknik hebat, fisik prima, dan mental yang selalu terjaga maka akan menghasilkan sebuah permainan yang indah, pantang menyerah dan selalu ngotot untuk memenangkan pertandingan.




REFERENSI

Nasution, Y. (2003). Latihan konsentrasi. Bahan diskusi psikologi olahraga bagi pelatih dalam rangka Pelatnas SEA Games tahun 2003.

Nasution, Y. (2007). Psikologi kepelatihan. Makalah dalam rangka Pelatihan Mantan Atlet untuk Menjadi Pelatih Olahraga Tingkat Dasar Tahun 2007.

Rushall, B. (2007). Mental skills training for serious athletes.


Diposkan oleh Made Pramono, S.S., M.Hum. di 17.08

http://dosen-kuliah.blogspot.com/2011/05/11-ketahanan-mental-dalam-olahraga.html